Rabu 09 Jun 2021 18:55 WIB

Code of Conduct Bukan Solusi Persengketaan di LCS

Ada tiga kekuatan laut atau maritim yang digunakan Cina untuk mendukung kebijakannya

Rep: kamran dikarma/ Red: Hiru Muhammad
Kapal induk USS Ronald Reagan (CVN 76) (R), kapal perusak rudal berpemandu kelas Arleigh Burke USS Mustin (DDG 89) (L) dan kapal penjelajah rudal berpemandu USS Antietam (CG 54) (2-L) berlayar di formasi selama latihan di Laut Cina Selatan, 06 Juli 2020. Pada 13 Juli 2020, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo secara resmi menolak sebagian besar klaim China atas Laut Cina Selatan.
Foto: EPA-EFE/MC3 Jason Tarleton
Kapal induk USS Ronald Reagan (CVN 76) (R), kapal perusak rudal berpemandu kelas Arleigh Burke USS Mustin (DDG 89) (L) dan kapal penjelajah rudal berpemandu USS Antietam (CG 54) (2-L) berlayar di formasi selama latihan di Laut Cina Selatan, 06 Juli 2020. Pada 13 Juli 2020, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo secara resmi menolak sebagian besar klaim China atas Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peneliti senior the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana mengatakan Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan (LCS) yang saat ini tengah dibahas ASEAN-Cina bukanlah solusi untuk menyelesaikan sengketa klaim di wilayah perairan internasional tersebut.

“CoC merupakan bagian dari pengelolaan peredaan ketegangan dan bukan solusi atas perselisihan di LCS,” kata Evan saat berpartisipasi dalam diskusi virtual bertajuk “Threat Assessment of PRC South China Sea Policy” yang diinisiasi Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta pada Rabu (9/6).

Dia pun mengomentari tentang tenggat waktu pembahasan CoC yang dicanangkan selama tiga tahun. Pencanangan waktu itu disepakati saat ASEAN menghelat konferensi bisnis dan investasi di Singapura pada November 2018.

Evan berpendapat, menghasilkan CoC yang berkualitas lebih baik daripada mengejar atau memenuhi tenggat waktu tertentu. “Oleh karena itu, menurut saya, sambil menunggu CoC yang lebih berkualitas, kita jangan menaruh harapan hanya pada CoC ini saja,” ujarnya.

Sementara itu profesor strategi dari the U.S Naval War College (NWC)’s China Maritime Studies Institute (CMSI), Andrew Erickson, berpendapat, agar CoC lebih efektif, hal itu harus dapat menghentikan perilaku pembentukan milisi maritim seperti yang dilakukan Cina. Dia menyebut, di antara negara-negara maritim di dunia, hanya Cina dan Vietnam yang memiliki milisi maritim.

“Di antara kedua negara tersebut, Vietnam tidak pernah menerjukan dan mengaktifkan milisi maritim mereka. Dengan kata lain hanya Cina yang mengaktifkan milisi maritimnya,” kata Erickson.

Dia mengungkapkan, ada tiga kekuatan laut atau maritim yang dipergunakan Cina untuk mendukung kebijakannya di LCS. Pertama angkatan laut Cina yang berada di bawah angkatan bersenjata Cina, kedua penjaga pantai yang berada di bawah polisi bersenjata Cina, ketiga kekuatan milisi atau milisi maritime. Milisi maritime berada di bawah kekuatan milisi bersenjata dari pemerintah Cina.

Erickson mengatakan milisi maritim Cina memiliki jumlah kapal cukup banyak serta tim atau unit elite di dalamnya. “Unit elite inilah yang bertugas dan bertanggung jawab dalam berbagai insiden-insiden di kawasan yang disengketakan (di LCS),” ucapnya.

Ia mengungkapkan dalam peta yang diperoleh dari CMSI, diketahui bahwa milisi maritim tersebut beroperasi dari Provinsi Hainan. Meski anggotanya bersifat paruh waktu dan kebanyakan bekerja sebagai nelayan, milisi maritim Cina tersebut disokong dengan fasilitas tertentu serta selalu siap diterjunkan.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, ungkap Ericksin, Cina membentuk gugus tugas atau unit elite lain yang anggotanya bersifat permanen. Mereka lebih dimiliterisasi dan salah satu pusatnya adalah di Sansha.

Erickson mengatakan milisi Sansha memiliki lagu dan video musik resmi dengan lirik-lirik patriotik. Dia menyoroti bagian yang diulang-ulang dalam lagu tersebut, yakni berbunyi, “Di masa damai jadilah penjaga hak-hak kita dan di masa perang bersiaplah terjun ke dalam peperangan dan memenangkannya”. “Ini menggarisbawahi dua tugas dan fungsi dari milisi maritim Cina,” ujar Erickson.

Dalam diskusi tersebut, Erickson mengungkapkan dia berharap bisa memberikan informasi-informasi terkait aktivitas Cina di Laut Natuna. “Namun harus diakui, dalam tujuh tahun kajian yang kami lakukan, kami tidak bisa mendapatkan informasi-informasi dari sumber-sumber yang sifatnya resmi dan terbuka dari Cina mengenai hal itu,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement