Webinar Threat Assessment of PRC South China Sea Policy, Rabu 9 Juni 2021. Foto: Screengrab East West Center/Kedubes AS
Webinar Threat Assessment of PRC South China Sea Policy, Rabu 9 Juni 2021. Foto: Screengrab East West Center/Kedubes AS

Konflik Invasi Diperkirakan Tidak Akan Terjadi dalam Isu Laut China Selatan

Fajar Nugraha • 09 Juni 2021 15:01
Jakarta: Membahas mengenai Laut China Selatan tidak akan pernah habis. Indonesia meskipun bukan sebagai negara pengklaim, tetap harus memiliki kesigapan untuk menghadapi pelanggaran-pelanggaran wilayah yang bisa terjadi.
 
Salah satu yang menjadi perhatian adalah provokasi yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut Natuna Utara di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
 
Menurut Senior Researcher di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Evan Laksmana, badan-badan atau instansi maritim Indonesia telah berupaya dan mengetahui perilaku tiongkok di Laut Natuna utara. Hanya saja mereka dibatasi oleh kemampuannya.
“Indonesia sudah sudah bertindak dengan respons yang tegas terhadap perilaku ataupun tindakan tiongkok di Laut Natuna Utara. Yaitu dengan membangun fasilitas militer dan juga menerjunkan aset-aset militer Indonesia di sana,” ujar Evan dalam webinar Threat Assessment of PRC South China Sea Policy, yang diadakan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) bersama East West Center, Rabu 9 Juni 2021.
 
“Respons dari militer Indonesia masih jauh dari cukup,” tegas Evan.
 
Evan juga menjawab mengenai Indonesia yang tidak bisa merespons ke Tiongkok karena elite politik Indonesia yang sudah ‘terbeli’ secara ekonomi. Hal tersebut pun juga berlaku dalam konflik Laut China Selatan (LCS).
 
“Jadi yang perlu kita ketahui perselisihan LCS, bahwa ini adalah masalah yang sifatnya multidimensi. Tidak hanya sekedar satu unsur saja, ini bukan masalah hukum saja, tetapi juga masalah hukum internasional tetapi juga ada masalah multilateral yang melibatnya banyak negara kemudian juga ideologi politik,” sebut Evan.
 
“Karena sifat dari permasalahan LCS yang multidimensi, maka posisi indonesia tidak cukup untuk bisa menyelesaikan masalah di Laut China Selatan. Maka Indonesia harus mempertimbangkan opsi-opsi strategis lainnya bukan hanya opsi diplomasi tetapi juga keamanan,” ungkapnya.
 
Bagi Evan, penyelesaian masalah menyangkut Laut China Selatan, ada dua hal: yaitu pengelolaan ketegangan di Laut China Selatan, kemudian perselisihan itu sendiri. Dan ini adalah dua hal yang berbeda.
 
Jika Indonesia tidak bisa membedakan antara kedua ini, maka dikhawatirkan bahwa solusi ataupun jawaban dari kedua hal ini sama. Padahal untuk menyeelasikan kedua konflik maka hanya ada opsi yang tersedia, dibandingkan cara-cara untuk mengurangi ketegangan.
 
Contoh Code of Conduct (COC) ASEAN-Tiongkok yang menurut Evan merupakkan sebuah kegagalan. Karena kegagalan untuk memahami perbedaan yang ada.
 
“Ketika kita membahas tantangan dan kesempatan hubungan diplomatik Indonesia-tiongkok, ini bersifat multidimensi. Hal tersebut termasuk masalah politik dalam negeri, kerentanan perekenomian di antara kedua negara,” ungkapnya.
 
“Salah satu kesulitan dalam hubungan kedua negara adalah, kebergantungan masalah ekonomi terhadap Tiongkok dan di sisi lain sikap tiongkok yang juga meremehkan posisi strategi indonesia di kawasan ini,” ucapnya.
 
“Tantangan kedua, adalah hubungan dengan Tiongkok telah berimplikasi terhadap Pemerintah Indoenesia, bahkan figur Presiden Indonesia sendiri  terkait politik dalam negeri dan legitimasinya,” imbuh Evan.
 
Sementara Dr Andrew Dickson, Profesor Ahli Strategi China Maritime Institute (CMSI) di U.S Naval War College (NWC) mengatakan, semakin banyak sorotan yang diperlihatkan mengenai aktivitas Tiongkok di kawasan ini, maka Tiongkok akan semakin bisa dihalau untuk menantang kepentingan Indonesia, dan tetangga lainnya, dan memperkeruh situasi.
 
“Dan saya pikir pencegahan itu adalah cara terbaik untuk memastikan perdamaian di wilayah dunia yang sangat penting dan indah ini,” tutur Dickson.
 
Sedangkan untuk ancaman konflik, menurut Evan Laksmana yang lebih memprihatinkan bukanlah konflik invasi. Konflik non-invasi ini jauh lebih memprihatikan di kemudian hari.
 
“Konflik yang bisa terjadi berupa kecelakaan, insiden dan pergesekan di laut. Terutama antara pihak Tiongkok dan Indonesia. Saya kira itu menjadi masalah serius dari hari ke hari,” pugkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(FJR)




LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif